Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo berpendapat sudah saatnya Indonesia melakukan redenominasi. Wacana ini pun kembali hangat. Tahun 2016 lalu, Presiden Joko Widodo menanggapi rencana redenominasi, yang memerlukan persetujuan dari DPR ini, seharusnya sudah masuk dalam Program Leglislasi Nasional 2017.
Menteri Keuangan Sri Mulyani turut memberikan respon positif. Menurutnya, redenominasi mereflesksikan tingkat kekuatan ekonomi Indonesia serta mematrikan atau memperdalam keyakinan terhadap mata uang rupiah. Namun pembentukan dasar hukum dan Undang-Undang Redenominasi membutuhkan perencanaan yang matang. Baik Presiden maupun Kemenkeu sependapat bahwa masa transisi redenominasi memerlukan waktu yang cukup panjang yaitu 7 tahun atau lebih.
Pertanyaannya, apa itu redenominasi? Mari pahami lebih dalam!
Di Indonesia, rencana redenominasi dipengaruhi oleh krisis 1998. Pasca krisis, nilai tukar rupiah terus ditekan oleh dolar Amerika Serikat. Meski terkesan tidak berimbas besar, implementasi redenominasi perlu dilakukan saat kondisi makroekonomi relatif stabil dan laju inflasi terkendali. Jika redenominasi terjadi saat harga barang sedang tinggi, penjual diprediksi akan membulatkan harganya ke atas. Belum lagi penyesuaian penjual akan nilai mata uang. Contohnya, bensin seharga Rp 7 per liter terdengar murah, sehingga pedagang yang belum terbiasa dengan angka hasil redenominasi menaikkan harga menjadi Rp 10 sebagai pembulatan, "lupa" jika penyusutan nominal tidak mempengaruhi nilai mata uang. Ini adalah beberapa risiko kerugian yang perlu dipertimbangkan.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang yang bisa terjadi mendadak hingga mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat. Langkah ini umumnya diambil ketika kondisi perekonomian negara sedang tidak sehat, seperti yang terjadi di Indonesia pada tahun 1959. Untuk mengurangi jumlah peredaran uang akibat harga-harga yang melonjak, pemerintah memutuskan memotong dua uang kertas yang pada saat itu memiliki nilai pecahan terbesar; Rp 500 bergambar macan yang nilainya menjadi Rp 50 dan Rp 1000 bergambar gajah yang dipotong jadi Rp 100. Langkah ini dilakukan demi mengatasi hiperinflasi yang berlangsung hingga awal tahun 1960. Kebijakan ini akhirnya menimbulkan kepanikan. Masyarakat berlomba-lomba mendatangi toko untuk membelanjakan uang macan dan uang gajah mereka. Bank pun tak luput dari serbuan masyarakat demi menukarkan uang ke pecahan yang lebih kecil.
Redenominasi terjadi ketika pemerintah menggunakan bilangan satuan pada mata uang untuk menggantikan bilangan resmi yang tertera pada mata uang sebelumnya. Mudahnya, redenominasi adalah penyederhanaan pecahan mata uang dengan mengurangi digit atau angka 0 tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1. Ini pun berlaku pada harga-harga barang di pasaran sehingga tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat dan nilai kekayaan. Nominalnya menyusut namun nilainya tetap. Jika 1 liter bensin dihargai Rp 7.000, maka setelah redenominasi menjadi Rp 7 per liter. Contoh sederhananya adalah menu restoran. Tentu Anda pernah menemukan bukan, menu yang mencantumkan harga Rp 50 dengan keterangan tambahan "dalam ribu Rupiah"? Seperti itulah redenominasi.
Karena itu, tak perlu panik karena sebenarnya tak ada yang berubah. Secara psikologis, bisa jadi malah ada sentimen positif. Anda lebih mudah berbelanja atau menabung karena berpikir "Wah hanya Rp 100 kok". Yang penting, tetap disiplin atur keuangan Anda meski terjadi redenominasi.